Kalah oleh Si Cerdik
Di sebuah hutan ada sumber air yang tidak pernah kering. Airnya jernih dan mengalir ke sebuah telaga. Semua binatang yang menjadi warga di hutan itu minum dari sumber air yang sama. Setiap golongan binatang sudah mempunyai jadwal tidak tertulis untuk bergiliran minum.
Pada saat
itu, kebetulan musim kemarau. Semua binatang merasa sangat haus, tetapi tidak
ada yang berani minum di luar jadwalnya. Semua binatang taat pada aturan. Suatu
pagi yang cerah banyak binatang menuju sumber air. Sesampainya di pinggir
telaga mereka tidak mau turun. Airnya kotor karena digunakan untuk berkubang
oleh seekor badak.
Binatang-binatang
itu mengelilingi telaga. Mereka memperhatikan tingkah laku sang Badak.
Tidak satu pun yang berani menegurnya. Mereka takut karena Badak badannya besar
dan bercula. Di pihak lain, Badak merasa bangga menjadi pusat perhatian dan
tontonan. Ia tidak peduli pada binatang lain yang menahan rasa haus.
Pada hari
berikutnya, Badak masih berada di telaga. Binatang-binatang lain sudah tak
tahan lagi ingin minum. Mereka bermusyawarah mencari jalan keluar supaya Badak
pergi dari telaga.
“Teman-teman,
bagaimana jalan keluarnya?” tanya Harimau.
“Hem, Babi Hutan, kamukan punya sihung, coba digunakan,” kata Kerbau.
“Bukan aku
tak mau, tapi sihung-ku tidak akan
kuat menembus kulit Badak. Bisa-bisa sihung-ku
rontok!” jawab Babi Hutan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Hem, aku punya tanduk, tetapi…,”
gumam Kerbau.
“Kerbau, Kerbau, kalau tak sanggup, bilang saja,” kata
Monyet.
“Hehe, kamu?
Berani, Nyet?” tanya Kerbau.
“Sama, ...
takut,” jawab Monyet. “Aku juga tak sanggup,” kata Kerbau.
“Kalau
begitu, Ular Sanca, jangan cuma bergantung di akar. Cepat cari cara untuk
mengalahkannya,” kata Burung.
“Aduh, aku
minta maaf. Aku tak sanggup. Dia begitu besar. Tubuhku tak akan bisa
membelitnya,” kata Ular Sanca.
Suasana
menjadi sepi sebab tidak ada lagi yang berani melawan sang Badak. Mereka hanya
bisa saling memandang.
Tiba-tiba
Harimau berkata, “Jika kita tidak sanggup, kita minta tolong pada sang Kancil
saja. Walaupun badannya kecil, otaknya pintar. Setuju?”
“Setuju!”
jawab binatang yang lain serempak.
“Bagaimana,
Kancil?” tanya Harimau sambil melihat Kancil.
“Lo, kalian
ini bagaimana? Tidak punya malu. Aku ini tak punya kemampuan dan tidak punya
kekuatan apa-apa,” jawab Kancil.
“Jangan
pura-pura, Kancil. Kami percaya kamu bisa mengalahkan si Badak,” kata
Banteng.
“Ya, Cil.
Kami percaya. Keluarkan kepintaranmu,” kata binatang yang lain.
“Baiklah,
akan kucoba asal kalian percaya,” kata Kancil.
“Kami
percaya,” jawab binatang yang berkumpul itu berpikir keras. Ia mencari cara
yang tepat untuk mengalahkan Badak yang badannya besar dan kuat. Ia berjalan
mondar- mandir. Tiba-tiba ia tersenyum sendirian.
Ketika
melihat Kancil tersenyum, binatang yang lain ikut senang. Itu pertanda masalah
mereka akan dapat diatasi oleh Kancil. Kancil segera pergi menemui Badak. Pada
saat itu sang Badak tengah berkubang.
“Selamat
siang, Tuan yang sangat kami hormati, yang gagah perkasa, yang tidak ada
bandingannya. Hamba memberanikan diri mengganggu kegiatan Tuan karena ada kabar
penting yang perlu hamba sampaikan,” kata Kancil dengan kata-kata yang lembut
dan sopan.
Badak pun
segera bangun. Ketika mendengar ada binatang lain memujinya, ia merasa
tersanjung. Ia kemudian bangkit sambil berkata, “Kabar penting, Kancil? Cepat
bicara, aku ingin mendengarnya,” kata Badak sambil tersenyum.
Kancil
mendekat ke arah Badak. Ia berpura-pura ingin menyampaikan sesuatu secara
rahasia.
“Hamba
kasihan sama Tuan. Badan besar berkubang di selokan kecil. Kulahnya sebesar tempurung. Tidak pantas, Tuan. Oh ya, ada
makhluk yang berkhianat kepada Tuan. Jalan airnya ditutup supaya tidak
mengalir. Sayang, makhluk itu tidak kelihatan oleh mata kita, dia makhluk
gaib,” kata kancil.
“Apa? Ada
yang jahil? Siapa? Di mana?” tanya Badak dengan emosional.
“Tenang,
Tuan. Tenang,” jawab Kancil.
Suara Badak
yang menggelegar membuat Kancil terkejut dan gemetar. Kancil mencari jalan
bagaimana agar Badak bisa secepatnya dikalahkan.
“Tuan,
makhluk gaib itu berada di dalam pohon teureup,”
kata Kancil sambil menunjuk sebatang pohon di depan Badak.
“Ah, yang
benar?” tanya Badak.
“Benar,
Tuan. Tuan harus mengawasi mereka dengan cara berdiri di bawah pohon teureup itu setengah hari, kemudian
setengah hari lagi barulah Tuan berkubang di telaga. Kalau tidak demikian, air
telaga cepat atau lambat akan surut dan Tuan tidak memiliki tempat berkubang
lagi,” jelas Kancil.
“Awas! Kalau
kamu bohong,” ancam Badak.
“Percayalah,
Tuan,” bujuk Kancil.
Tanpa
berpikir lagi, Badak segera naik ke atas dan berjalan menuju pohon teureup.
Sang Badak
pun mengawasi pohon itu selama setengah hari. Sementara itu, binatang yang lain
satu per satu berdatangan untuk minum air telaga. Ketika Badak telah selesai
mengawasi pohon teureup, ia kembali
menuju telaga. Sementara, binatang yang lainnya meninggalkan telaga. Dengan
demikian, sejak saat itu ada jadwal tidak tertulis yang cukup adil bagi semua
binatang yang memerlukan air telaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar